Dedi Selamat Memegang Kulkas
|
Risa Fitria |
MINGGU Pagi tanggal 26 Desember 2004, Aku sedang
membersihkan rumah, Ibuku pagi-pagi sekali sudah berangkat ke Lampulo
untuk membeli ikan. Ibu memang suka membeli ikan di Lampulo pada hari
minggu.
Saat Aku sedang menyapu teras rumah, tiba-tiba bumi berguncang,
orang-orang berteriak gempa! Aku berlari ke jalan dan memanggil
adik-adik ku untuk keluar dari rumah. Di luar sudah ramai
tetangga-tetangga yang duduk di jalan, aku dan adik-adikku saling
berpegangan.
Gempa sangat kuat, aku berfikir bahwa ini adalah kiamat. Aku berdoa
mohon ampun pada Allah, dan terus saja aku teringat bahwa aku belum
lunas mengganti puasa yang tinggal pada bulan puasa lalu. Aku terus
berdoa meminta ampun.
Setelah gempa berhenti, Aku teringat ibuku, aku berdoa semoga Ibu
baik-baik saja. Tidak lama kemudian ibu pulang, Ibu langsung pulang
karena mencemaskan aku dan adik-adikku dirumah, beliau menceritakan
bahwa ada bangunan yang roboh dan retak-retak yang dilihatnya di
perjalanan pulang.
Aku, ibu, adik-adikku dan tetangga-tetangga duduk dijalan, tidak ada
yang berani masuk ke dalam rumah. Tiba-tiba terdengar bunyi klakson
kendaraan yang masuk ke kampung kami, kami bangkit dari duduk untuk
melihat apa yang terjadi, kenapa ramai sekali orang yang menuju ke
kampung kami.
Seorang anggota Brimob dari Lingke masuk ke lorong kami dengan
mengendarai sepeda motor, dia mengimbau kami untuk lari karena air laut
naik. Kami yang berada di lorong tercengang dan masih bingung dengan
perkatan si Brimob itu. Brimob itu berlalu meninggalkan kami yang masih
bertanya-tanya, namun ketika dia sampai di ujung lorong, dia berbalik
lagi ke arah kami, kami masih saja berdiri. Sekali lagi dia menghampiri
kami, kali ini dia membentak, “Cepat lari! Air laut naik!.
Saat itu aku mulai merasa ketakutan, ibu yang melihat aku ketakukan
langsung memelukku dan adik-adikku, Kemudian kami langsung bergegas,
tetangga-tetangga mengeluarkan mobil-mobil mereka dari garasi.
Di lorong itu ada 5 rumah termasuk rumahku, Hanya dalam beberapa
menit mobil sudah terparkir di lorong, ada 5 mobil yang sudah
dikeluarkan. Seorang bapak, salah seorang tetanggaku berkata, “Naikkan
dulu yang perempuan, anak-anak dan ibu-ibu. Kita akan ke seulawah.” Kami
bergegas masuk ke dalam mobil, tiba-tiba ibuku berlari ke dalam rumah
untuk mengambil ijazah kami di kamarnya dan kemudian diletakkan di
lantai dua.
Saat itu ibu berpikir mungkin air yang datang itu seperti banjir,
sehingga ijazah tidak akan hilang jika diletakkan dilantai dua rumah.
Setelah semua penghuni lorong hendak berangkat, ternyata kami sudah
tidak bisa keluar lagi, lorong sudah dipenuhi oleh orang-orang yang
berlarian, kebanyakan mereka berasal dari Lingke dan Prada. Akhirnya
keluargaku dan tetangga memutuskan untuk tetap berada di lorong dulu
bersama-sama.
Setelah kemacetan di lorong berkurang, Sekitar pukul 11.00. Aku minta
izin pada ibu untuk pergi keluar lorong melihat keadaan. Ibu
mengizinkan dan berpesan agar tidak terlalu jauh pergi dan jangan lama.
Keluar dari lorong, aku melihat banyak orang yang berjalan di jalan Tgk.
Ade Utama, tubuh mereka kena lumpur.
Aku juga melihat seorang gadis seusiaku sedang memegang baju seragam
sekolahnya yang masih bergantung di hanger, sebagian seragam itu terkena
lumpur, dia tetap memegangnya sambil berjalan dan matanya basah. Aku
ingin keluar dari jalan Tgk. Ade Utama untuk melihat keadaan di jalan
P.Nyak Makam. Sampai di Romen, aku berdiri di depan Café itu.
Aku melihat ramai sekali orang yang berjalan kearah simpang BPKP,
kebanyakan mereka tidak menggunakan alas kaki, mungkin sandal mereka
putus ketika berlari menjauh dari air laut. Tatapan mereka kosong, mata
basah, tidak ada saling bicara diantara mereka, aku menyaksikan mereka
seolah-olah ada yang sedang memanggil mereka di simpang BPKP. Tiba-tiba
saja aku menangis menyaksikan mereka.
Mereka saling merangkul, ada yang membawa jenazah yang diletakkan di
kain panjang dan dipegang oleh 2 orang, yang satu berjalan di depan dan
satu di belakang, tatapan mereka sama, kosong.
Ada juga jamaah haji, mungkin mereka yang dari asrama haji, dan ada
juga yang berpakaian Brimob. Mereka semua berjalan ke satu arah, dari
wajah mereka tampak mereka sangat kelelahan, di antara mereka ada yang
menangis. Aku terus saja menangis dan berlari ke rumah untuk
menceritakan pada ibu.
Pemuda-pemuda di kampungku sudah bergegas untuk menolong
korban-korban tsunami, sampai di rumah aku melihat ibu sedang melayani
beberapa pengungsi yang singgah di rumahku. Mereka berasal dari Lingke.
Aku melihat Ibu sangat cemas, ternyata ibu teringat Dedi karena belum
pulang.
Dedi adalah sepupuku, dia tinggal di rumahku, orang tuanya mengirim
dia untuk sekolah di Banda Aceh, Aku dan Dedi sama-sama masih kelas 1
SMA pada waktu itu. Sabtu tanggal 25 Desember 2004, Dedi minta izin pada
ibuku untuk menginap di rumah saudara ayahnya di Beurawe. Karena dia
belum pulang-pulang juga setelah gempa, menjelang sore ibu pergi ke
Beurawe untuk menjemput Dedi, ternyata dia tidak ada disana. Saudaranya
memberitahu ibu kalau Dedi bersama anaknya pergi ke Ulhelheu pagi itu.
Ibu pulang dengan menangis, sampai di rumah Ibu memeluk aku dan
adik-adik, dengan terisak Ibu mengatakan Dedi sudah tidak ada lagi
karena dia pergi ke laut tadi pagi, langsung saja kami histeris.
Tetangga datang untuk menenangkan kami, seorang bapak menasihati kami
untuk sabar, ini adalah cobaan dari Allah, kita semua harus ikhlas.
Mendengar nasehat Bapak itu, kami langsung beristigfar. Ibu meminta
aku dan adik-adikku untuk mendoakan Dedi, doa anak yatim cepat diterima
Allah, kata ibu pada kami. Sore itu juga ibu pergi ke Lambaro untuk
mencari jenazah, semua jenazah sudah dibuka tetapi tidak ada Dedi. Ibu
pulang dengan menangis. Malamnya aku bermimpi bahwa Dedi masih hidup.
Setiap kali aku terbangun, aku melihat ibu menangis dan berdoa, beliau
tidak bisa tidur karena terus memikirkan Dedi.
Senin, tanggal 27 Desember 2004. Ibu dibantu oleh beberapa tetangga
pergi mencari Dedi, Aku dan adik-adikku tetap berada di rumah. Siang ibu
kembali ke rumah dan belum menemukan Dedi. Menjelang sore, pamanku dan
orang tua Dedi datang dari Tangse, mereka belum mengetahui bahwa Dedi
hilang.
Ibuku memeluk ibu Dedi, sambil menangis ibu memberitahukan bahwa Dedi
pergi ke laut Minggu pagi dan sampai sekarang belum tahu di mana. Ibu
Dedi langsung pingsan. Ayahnya menangis. Ibuku dan Orang tua Dedi serta
dibantu pamanku pergi mencari Dedi. Malam mereka kembali ke rumah dan
belum menemukan Dedi, apakah dia masih hidup atau telah tiada.
Senin malam aku dan adik-adikku diajak pulang ke tangse oleh paman.
Ibu dan orang tua Dedi tetap tinggal di rumah ku. Sampai di Tangse,
ketika mobil yang dikemudikan paman berbelok ke jalan menuju rumah kakek
ku, seorang ibu menyetop kami, paman mengenal ibu itu. Ibu itu berdiri
di teras rumahnya dan berteriak, “Dedi sudah dibawa pulang ke rumah!
Sambil menunjuk ke arah rumah kakekku, kami semua dalam mobil
mengucapkan Alhamdulillah. Paman menancap gas mobilnya, 100 meter jarak
dari rumah kakek sudah kelihatan orang-orang kampung memenuhi jalan dan
halaman rumah kakek.
Mereka semua datang ke rumah kakekku untuk melihat Dedi. Orang-orang
ingin melihat bagaimana kondisi Dedi, karena mereka belum mengetahui
kondisi sebenarnya di Banda Aceh. Aku dan adik-adikku turun dari mobil,
melewati kerumunan orang, dan langsung masuk rumah kakek, kami melihat
Dedi sedang berbaring di kamar, tubuhnya penuh luka, luka-luka yang
parah, bahkan ada yang kelihatan tulangnya. Dia tertidur pulas. Dia
dibawa pulang oleh seorang warga Tangse yang melihat dia di Masjid Raya
Baiturrahman dengan tubuh penuh luka. Karena sambungan telepon ke Banda
Aceh masih putus, tidak bisa menghubungi ibu dan orang tua Dedi,
akhirnya paman berangkat lagi malam itu ke Banda Aceh untuk menjemput
ibu dan orang tua Dedi.
Alhamdulillah kami semua masih bisa berkumpul di Tangse. Aku
bersyukur Allah masih menyelamatkan sepupuku itu. Setelah sebulan di
tangse, kemudian aku kembali ke Banda Aceh untuk menjadi relawan.
Setelah 7 tahun musibah itu terjadi, banyak hikmah yang dapat kita
ambil. Jika Allah berkehendak maka semua akan terjadi. Allah dapat
mengambil nyawa dan harta kita dalam sekejap. Begitu juga jika Allah
masih memberikan kita umur panjang, seperti sepupuku Dedi, dia selamat
dari tsunami karena Allah menyelamatkannya dengan memberikan dia sebuah
kulkas yang hanyut untuk ia pegangi. Dari bencana ini semoga kita semua
bisa mengambil hikmah. Untuk kita yang masih diberikan umur panjang,
semoga kita senantiasa mengingat Allah. ***
Risa FitriaMahasiswa FKIP Unsyiah